SUMENEP - Sebanyak 1.238 tenaga kesehatan (nakes) dan non nakes di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, bekerja puluhan tahun merasa bagaikan ‘budak’.
Pasalnya, nasibnya hingga kini belum ada kejelasan pasti yang selama ini mereka bekerja hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu.
Pengabdian kepada pemerintah walaupun hanya mendapat gaji yang tidak sesuai. Namun para pekerja Tenaga Kesehatan Sukarela (TKS) dan Non Nakes, nasib masa depannya tak jelas.
“Ada TKS yang masa kerjanya dari tahun 2006. Usianya sudah tidak memungkinkan mengikuti proses rekrutmen ASN, ” kata Ahmad Sufriyan, juru bicara Forum Komunikasi Honorer Nakes (FKHN) dan Non Nakes Sumenep, usai melakukan audensi dengan Komisi IV DPRD setempat, Senin (3/10/2022).
Menurutnya, dirinya bersama teman-temannya yang lain, mendapatkan honor tidak pantas. Bahkan dia menilai apa yang ia selama bertugas, boleh dibilang sangat tidak manusiawi.
“Setiap bulannya, ada yang hanya diupah Rp100 ribu, ada yang Rp300 ribu. Memang tidak sama, ” ungkapnya.
Namun, pihaknya bersama yang lain bertahan sebagai TKS nakes dan non nakes hanya karena kemanusiaan, meski waktu dan beban tugas serta resikonya sama persis dengan tenaga kesehatan yang berstatus ASN.
Selama ini, dari 1.238 TKS nakes dan non nakes, juga bekerja tanpa legalitas yang jelas, baik dari Puskesmas maupun dari Dinas Kesehatan, akibatnya mereka tidak bisa masuk pada proses rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
“Kami belum masuk di form 1 database BKD, belum mendapatkan honorarium yang bersumber dari APBN/APBD dan tidak ada surat pengangkatan dari Kapuskesmas maupun dari Kadinkes, ” ujarnya.
Sementara, Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan (Kabid SDK) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sumenep, Moh. Nur Insan menjelaskan, sejak awal kerja mereka memang tidak mendapatkan anggaran atau tidak dianggarkan.
“Untuk mengakomodir agar mendapat upah waktu itu, maka digaji melalui belanja rekening pengadaan barang dan jasa, bukan melalui rekening belanja gaji, ” terangnya.
Dampaknya, kata dia, mereka tidak bisa ikut pada proses rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Sebab, salah satu yang dipersyaratkan itu honornya bersumber dari APBN/ APBD atau menggunakan rekening belanja gaji.
Saat ini, pihaknya sedang berusaha melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Dua pekan kedepan, akan ada kepastian. Bukan diangkat menjadi PPPK tapi agar bisa ikut proses rekrutmennya, ” tuturnya.
Jika usaha tersebut menemukan jalan buntu, pihaknya menyatakan, maka ada opsi yang ditawarkan Komisi IV DPRD Sumenep yakni harus ada Peraturan Bupati (Perbup) untuk mengakomodir nasib mereka. (*)